Perang dagang (Trade War), perang mata uang (Currency War) perang Information Communication Technology (ICT). Situasi perang inilah yang sesungguhnya memicu terjadinya krisis ekonomi global. Yang pada dasarnya perang sudah di mulai sejak dekade awal abad-21 dan puncaknya baru terlihat di akhir akhir ini, hingga berlanjut pada perang biologi dengan kemunculan virus corona Covid-19.
Menariknya, dalam perang tadi China tampak terus menerus mempertahankan posisinya sebagai pemenang. China berhasil menggeser penggunaan USD dan menggantikannya dengan Yuan. Pada saat yang sama China juga berhasil memainkan peran kelembagaannya, dimana Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan New Development Bank (NDB) dijadikan sebagai tandingan Bank Dunia.
Secara singkat China tidak hanya berhasil melawan corporate capitalism tapi juga berhasil melawan Bank Dunia lewat yang namanya NDB dan melawan Asian Development Bank (ADB) dengan AIIB. Sehingga kini, oleh dunia, China dianggap tampil sebagai pesaing utama global superpower.
Sebagaimana yang dilansir Bloomberg bahwa pada 2025 mendatang China akan tampil sebagai negara paling unggul dalam hal electric vehicle. (Bloomberg News, 3/12/2019).
Sebelumnya China juga mengumumkan keberhasilannya dalam melakukan rekayasa genetika DNA dan keberhasilan kloning monyet. Dengan kata lain China berhasil melakukan revolusi biologi yang berarti sangat memungkinkan bagi China untuk memproduksi senjata biologi.
Dalam konteks kemunculan virus corona Covid-19 kita bisa bertanya apakah hal ini merupakan pandami semata atau wujud perang ekonomi.
Merujuk pada situasi yang ada saat ini, sangat memungkinkan kalau hal ini merupakan indikasi perang biologi sebagai perwujudan perang ekonomi dunia.
Persoalan kemudian siapa yang memulai? Yaa kita tinggal lihat saja siapa yang pertama kali melakukan simulasi. Yang melakukan simulasi pertama kali adalah Johns Hopkins Center for Health Security, seolah olah mereka sudah tau akan ada pandemi, lebih jauh akan ada penggunaan senjata biologi. (Lihat: Event 201)
Bagaimana dengan China? China tentu sebelumnya sudah siap juga. Persoalan selanjutnya, siapa yang akan tampil sebagai pemenang dalam perang biologi ini.
Meskipun China mengklaim telah berhasil menghadapi pandemi corona Covid-19. Namun sebagai akibatnya cadangan devisa China turun sekitar US$ 8,78 Miliar dari US$ 3,11 triliun.
Dari segi Purchasing Manager Index (PMI) menurun dari 51,1 pada Januari menjadi 40,3 pada Februari (IHS Markit, 2/3/2020). Begitu juga AS, akibat corona Covid-19 PMI-nya juga ikut turun.
PMI China menurun, PMI AS juga menurun. Artinya apa? Rantai supply dunia atau pasokan global telah mempengaruhi seluruh corporation atau seluruh dunia usaha. Dengan kata lain, seluruh perekonomian dari proses input hingga output terpekul dengan adanya virus corona Covid-19, yang akhirnya mengakibatkan krisis ekonomi global.
Lalu bagaimana kelanjutan kedepannya? Yaa krisis ini nggak bakalan selesai sepanjang kedua bela pihak bertahan pada posisinya. Hal inilah yang akhirnya membuat Xi JinPing dan Trump beberapa bulan lalu, melalui teleconference G-20 berinesiatif untuk bersama sama menghadapi pandemi corona Covid-19 dalam rangka menstabilkan kondisi perekonomian global saat ini.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sebetulnya sejak awal abad-21 sudah salah, karena perekonomiannya dibangun diatas landasan neoliberalisme. Kalau dulu neoliberalisme masih menggunakan negara sebagai sarana untuk kepentingan korporasi, sekarang justru negara dianggap nggak penting lagi dalam mengukuhkan kepentingan mereka, karena sudah dengan sendirinya didukung oleh sistem demokrasi liberal yang dianut.
Indonesia persis seperti AS, dimana kekuatan korporasi berhasil mendikte habis habisan negara. Akibatnya muncullah sosial distrust yang berujung pada public disorder. Ketidakteraturan. Akhirnya social disobedience. Yaa lihat saja kebijakan kebijakan yang ada saat ini.
Katanya pemerintah tidak akan menaikkan BPJS-Kes tapi akhirnya dinaikkan dengan menentang keputusan Mahkamah Agung (MA). Tenaga Kerja Asing (TKA) tidak akan didatangkan tapi akhirnya di datangkan. Awalnya tidak boleh mudik, tapi bisa juga akhirnya. Masyarakat akhirnya bingung. Akibatnya semua anjuran pemerintah agar mematuhi peraturan PSBB dalam masa pandemi, dilanggar.
Muncullah kemudian ketidakpastian, ambigu dst. Dalam thesis global inilah yang disebut kondisi Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity (VUCA). Ini terjadi karena pada dasarnya pemerintah menentang etika publik.
Krisis di Indonesia sebetulnya sudah terjadi sejak adanya pembiaran pelemahan nilai tukar rupiah secara terus menerus oleh pemerintah. Ini menunjukkan kalau pundamental ekonomi kita itu sebetulnya rapuh. Kenapa rapuh? Sebab yang namanya nilai tukar bagaimanapun sangat erat kaitannya dengan suku bunga dan inflasi. Sementara kita punya ketergantungan impor yang tinggi.
Ketergantungan kita pada impor inilah yang menyebabkan usaha di sektor pertanian (primer) menurun drastis. Karena kita sepenuhnya tergantung pada impor. Lebih jauh, ancaman akan jatuhnya nilai tukar rupiah akan terus terjalan. (CNBC, 7/2/2020).
Sementara itu, orang orang mengatakan bahwa inflasi kita cukup terkendali. Padahal sesungguhnya hal ini terjadi karena selama ini pemerintah telah memberikan bantuan sosial (bansos) pada kalangan bawah melalui Program Keluarga Harapan (PKH) juga Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Belum lagi BLT Dana Desa ditambah BST Kementerian Sosial yang di peruntukan bagi OMG (orang miskin baru) akibat dampak penyebaran corona Covid-19. Ragam bantuan sosial inilah yang menyebabkan tingkat inflasi bisa bertahan.
Jadi inflasi kita tertahan sementara ancaman melemahnya akan nilai tukar rupiah semakin tak menentu. Faktor lain yang mempengaruhi akibat utang negara yang semakin bertambah.
Menarik soal utang ini dalam konteks penanganan pandemi corona Covid-19. Baru baru ini kembali di wacanakan istilah normal baru. Berawal dari perkataan Henry Kissinger melalui Wall Street Journal (3/4/2020) yang pada prinsipnya mendorong upaya memulihkan kondisi perekonomian dunia dengan membentuk tatanan dunia baru. (WJS, 28/5/2020).
Dalam upaya pemulihan ekonomi, IMF dan Bank Dunia kini kembali menawarkan bantuan pemulihan ekonomi hingga US$ 1 triliun pada negara yang terdampak pandemi corona Covid-19, sebagaimana yang di katakan Kristalina Georgieva, direktur pelaksana IMF. (IMF, 4/4/2020).
Bisa dibayangkan bagaimana utang negara negara di dunia akan semakin bertambah besar dengan adanya kondisi yang kita sebut normal baru.
Dengan kata lain, istilah normal baru merupakan bentuk baru cengkeraman kapitalisme global pada negara negara yang membutuhkan pinjaman dalam upaya pemulihan ekonomi akibat corona Covid-19 melalui lembaga lembaga keuangan internasional, termasuk Indonesia.
0 Komentar